29 Apr 2010

Apa yang dimaksud dengan Pertobatan?

PERTOBATAN (METANOIA)

Pertobatan berasal dari akar kata tobat (Ing; repentance) yang secara harafiah dikenal dan diterapkan oleh seluruh agama bahkan aliran kepercayaan, dimana seorang/sekelompok orang menyesal atas kesalahan, pelanggaran, kejahatan ataupun dosa yang telah diperbuatnya dan berbalik kepada ajaran agama atau kepercayaan yang diyakininya sebagai suatu kebenaran. Dan biasanya sebagai konsekuensi logis dari suatu pertobatan adalah orang tersebut “dikarantinakan” selama beberapa waktu ataupun melakukan meditasi spritual bahkan adapula yang harus menjalani hukuman badan dan diindokrinasi kembali tentang ajaran agama/kepercayaan yang dianutnya.
Dalam ajaran Kristen, bentuk pertobatan apapun, jika itu terjadi diluar Kristus (bertobat tapi tidak percaya kepada TUHAN Yesus) maka tidak diperhitungkan sebagai bagian dari proses keselamatan kekal. Dengan lain perkataan, pertobatan yang terjadi diluar Tuhan Yesus, adalah sia-sia sebab tidak adanya jaminan pengampuan dosa untuk menerima kehidupan yang kekal setelah kematian (Yohanes 14:6). Tindakan pertobatan yang bertolak belakang dengan salib Kristus bersifat sementara dan sangat rentan untuk kembali hidup didalam dosa. Alkitab mencatat bahwa dibawah kolong langit ini, tiada nama lain yang olehnya manusia bisa selamat karena dosanya telah diampuni, selain nama Tuhan kita Yesus Kristus. (Lukas 24:47, “dan lagi: dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa,……”; Kisah Para Rasul 4:12, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.").
Dibawah ini akan dijelaskan tentang pertobatan dari sudut pandang teologis Kristiani :

A. TERMINOLOGI PERTOBATAN

Pertobatan dapat didefinisikan sebagai tindakan yang secara sadar dilakukan oleh seorang yang telah diregenerasikan untuk berbalik dari dosa kepada Allah dalam Kristus Yesus yang dapat dilihat dari suatu perubahan kehidupan sepenuhnya, yang dinyatakan didalam bentuk suatu cara berpikir, merasa dan berkehendak yang baru.
Pertobatan merupakan pengalaman yang bersifat satu kesatuan, tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi bagian-bagian. Walaupun aspek-aspek dari pertobatan dibawah ini dapat dibedakan, tetapi tidak boleh dipisahkan.
1. Suatu aspek intelektual (pikiran). Pertobatan sejati melibatkan, pengenalan akan kekudusan dan keagungan Allah dalam alam pikiran (pengakuan/pengenalan secara intelektual). Pengenalan Yesaya akan kekudusan Allah-lah yang membawa dirinya untuk berkata, “Celakalah aku! Aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir” (Yesaya 6:5). Di sini dapat dilihat bahwa secara intelektual, Yesaya menyadari dan mengakui bahwa salah satu dari anggota tubuhnya tidak berkenan kepada Allah karena dosa. Pertobatan harus mencakup pengakuan atas dosa dan kesalahan kita, yang merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah dan penolakan terhadap kehendak-Nya atas hidup kita. Juga harus terdapat pemahaman akan kasih setia Allah dan akan kesiapan Allah untuk mengampuni, karena jika terpisah dari pemahaman ini, maka pengakuan dosa hanya akan menyebabkan ketakutan dan keputusasaan. Pertobatan intelektual merupakan suatu bentuk penaklukan terhadap pikiran manusia yang bersifat kedagingan kedalam suatu bentuk pemikiran rohani yang terdapat dalam Kristus Yesus (2 Korintus 10:5).
2. Suatu aspek emosional (perasaan). Harus terdapat suatu dukacita yang dirasakan didalam hati karena dosa dan akibat dari dosa itu sendiri. Rasul Paulus, ketika menulis surat kepada jemaat di Korintus memberi gambaran tentang “dukacita menurut kehendak Allah”. Perlu dicatat, “dukacita” yang dimaksudkan Paulus, tidaklah identik dengan pertobatan tetapi “menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan” (2 Korintus 7:10). Bentuk dukacita dari Allah ini dikontraskan dengan “dukacita duniawi”.
3. Suatu aspek volisional (kehendak/kemauan). Pertobatan dalam aspek intelektual & emosional, belumlah lengkap jika tidak diikuti dengan perubahan dalam kemauan kita yang benar-benar harus tampak lewat buah-buah pertobatan yang dihasilkan. Tuhan Yesus menyatakan dengan jelas bahwa pertobatan sejati melibatkan komitmenn total dan tidak kurang daripada ini : “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; …..” (Mat. 10:37-39). “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat. 16:24). “Demikian pulalah tiap-tiap orang diantara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk. 14:33).


B. ETIMOLOGI (STUDI KATA) PERTOBATAN

Kata yang dipakai untuk pertobatan didalam Perjanjian Lama adalah nicham dan shūbh. Nicham, bentuk niphal dari nācham berarti menyesal (sorry), tergerak oleh belas kasihan, atau untuk bertobat dari perbuatan yang salah. Kata ini sering dipakai bagi Allah untuk mengindikasikan suatu perubahan atau kemungkinan perubahan dalam rencana-rencana-Nya : Kejadian 6:6-7; Keluaran 32:12,14; Ulangan32:36; Hakim 2:18. Tetapi kata ini juga dipakai untuk mendeskripsikan penyesalan atas dosa didalam diri manusia: Hakim 21:6; Ayub 42:6; Yeremia 8:6; 31:19.
Kata lain yang lebih sering dipakai didalam Perjanjian Lama untuk pertobatan adalah kata shūbh . Kata ini berarti berbalik, pergi ke arah yang berlawanan. Kata ini menyatakan fakta bahwa pertobatan berarti perubahan dalam arah, dari jalan yang salah ke jalan yang benar. Pertobatan berarti berbalik dari dosa (1Raj. 8:35), dari kesalahan (Ayub 36:10), dari pelanggaran (Yesaya 59:20), dari kefasikan (Yeh. 3:19), dan dari jalan yang jahat (Neh. 9:35). Secara positif kata shūbh berarti berbalik kepada Allah: Maz. 51:15; Yesaya 10:21; Yeremia 4:1; Hosea 14:1; Amos 4:8; Malekhi 3:7.
Dua kata utama didalam perjanjian baru untuk pertobatan adalah metanoia dan epistrephō. Kata kerja yang berhubungan dengan kata metanoia adalah metanoeō; kata ini biasanya dipakai untuk menerjemahkan kata nicham didalam Septuaginta (Perjanjian Lama bahasa Yunani). Dan epistrephō biasanya dipakai untuk menerjemahkan kata shūbh di dalam Septuaginta. Walaupun tidak ada aturan yang pasti, tetapi kata metanoia secara umum tampaknya menekankan pada perubahan dalam batin yang tercakup didalam pertobatan, sementara epistrephō menekankan perubahan pada kehidupan lahiriah seseorang yang merupakan penerapan dan pengungkapan dari perubahan batin yang terjadi.
Sekarang mari kita lihat makna dari kata metanoia dan metanoeō. Kita biasanya cenderung memikirkan pertobatan, seperti yang dideskripsikan dalam kata metanoia, terutama secara negatif. Kita cenderung memikirkanya sebagai krisis emosional yang terdiri dari penyesalan atas dosa dan rasa takut akan hukuman., melibatkan penyesalan, perasaan bersalah dan banyak introspeksi. Pemahaman populer tentang pertobatan cenderung untuk membalikan pandangan orang Kristen ke belakang dan bukan ke depan, dan ke dalam daripada ke luar. Pandangan tradisional ini tampaknya memusatkan pandangan pada diri sendiri dan bukan pada orang lain, dan membawa pada sikap yang muram daripada kesalehan yang bersukacita.
Salah satu alasan bagi kesalahpahaman ini dapat ditemukan pada terjemahan standar untuk kata metanoeō. Versi Alkitab Latin Vulgata menerjemahkan kata ini menjadi poenitentiam agite (harafiah, “do penance; menyesal”), yang menunjukkan pemahaman eksternal dari pertobatan, seakan-akan pertobatan hanya terdiri dari melakukan sejumlah tugas tertentu untuk memuaskan tuntutan keadilan Allah. Versi Alkitab bahasa Inggris Katolik Roma, yaitu Douai Bible di bagian Perjanjian Baru-nya yang diterbitkan tahun 1582, meneruskan kesalahan ini dengan menerjemahkan metanoeō sebagai “menyesal”. Alkitab bahasa Jerman terjemahan Luther juga mengikuti tradisi Vulgata, menerjemahkan kata ini menjadi thut Busse, “menyesal”. Bahkan sejumlah Alkitab bahasa Jerman yang baru masih terus memakai ungkapan ini. Alkitab bahasa Perancis menerjemahkan kata metanoeō menjadi repentez-vous, yang menekankan perasaan bersalah dan penyesalan. Komentar serupa juga berlaku bagi kata yang dipakai didalam sejumlah Alkitab terjemahan bahasa Spanyol yang lebih lama, yaitu kata arrepentios . Berbagai versi bahasa Ingggris umumnya menerjemahkan metanoeō dengan kata repent - kata yang sangat menekankan perubahan di sisi emosional, menekankan perasaan bersedih atas dosa masa lalu.
Metanoeō dan metanoia memiliki makna yang jauh lebih kaya daripada yang dinyatakan oleh terjemahan yang ada. Kata benda ini merupakan gabungan dari meta dan nous. Meta berarti dengan, setelah, atau melampaui; dalam hal ini kata meta menunjukan perubahan dalam apa yang mengikutinya. Nous berarti pikiran, sikap, cara pikir, sikap dasar, karakter atau kesadaran moral. Maka secara harafiah, metanoia berarti perubahan pikiran atau hati. Metanoia mencakup lebih banyak aspek daripada sekedar perubahan intelektual. Metanoia mencakup suatu perubahan dari suatu pribadi secara utuh, dan didalam penampilan kehidupannya. Kita dapat berkata bahwa ini merupakan perubahan pikiran, perasaan dan kehendak. J.B. Philliphs menangkap kata metanoia ini dengan sangat baik: “kamu harus mengubah hati dan pikiranmu - karena kerajaan sorga telah tiba” ( Matius 4:17).
“Pertobatan memandang ke depan di dalam pengharapan dan antisipasi, sedangkan penyesalan atau perasaan bersalah hanya memandang ke belakang di dalam masa lalu”, demikian menurut Chamberlain dalam mengembangkan makna Alkitabiah dari kata pertobatan. Pertobatan bukan hanya berarti perubahan cara bertindak tetapi terutama lebih berkenaan dengan perubahan pada sumber tindakan itu, dan pada sumber motivasi kita. Doktrin pertobatan Perjanjian Baru memanggil pikiran manusia untuk dipolakan kembali sesuai dengan pikiran Allah, sehingga tindakan mereka dapat sesuai dengan kehendak-Nya, dan dapat mengambil bagian di dalam kekuasaan-Nya.
Chamberlain menyimpulkan, pertobatan dalam pengertian yang Alkitabiah berarti pembuatan manusia baru: “Pertobatan adalah perubahan pada rancangan hidup; keseluruhan pola hidup diubah; tujuan hidup menjadi berbeda; aspirasi hidup juga menjadi berbeda.” Pendek kata, pertobatan merupakan suatu perjalanan dari pikiran yang kedagingan kepada pikiran Kristus.
Dalam Perjanjian Baru, kata lain yang sering dipakai untuk pertobatan adalah epistrephō. Epi, artinya “kearah”; dan strephō berarti “berputar”, “berbalik”. Jadi epistrephō (pertobatan) adalah “berputar kembali” atau “berbalik ke arah”. Kata ini secara khusus dipakai untuk mendeskripsikan suatu tindakan berbalik dari dosa kepada Allah (Kis. 15:19; I Tes. 1:9). Dengan demikian, epistrephō mendeskripsikan suatu perubahan total di dalam perilaku, suatu pembalikan gaya hidup seseorang, suatu gerakan berputar kembali sepenuhnya.
Adalah hal yang menarik untuk diperhatikan bahwa terkadang Perjanjian Baru hanya memakai salah satu dari kedua kata ini (metanoia dan epistrephō) untuk mendeskripsikan pertobatan. Dalam KPR. 15:3, dipakai istilah epistrephō sedangkan KPR. 11:18 hanya menggunakan istilah metanoia). Pada bagian lain dalam Perjanjian Baru, kedua kata ini dipakai secara bersamaan, seperti di KPR 3:19-20, dimana Petrus mengatakan kepada orang-orang yang berkumpul di Serambi Salomo, “Karena itu sadarlah (metanoesate) dan bertobatlah (epistrepsate), supaya dosamu dihapuskan, agar Tuhan mendatangkan waktu kelegaan.” Kedua kata ini juga dipakai secara bersamaan di KPR. 6:30. Maka arti dari kedua kata ini dapat saling menggantikan.

C. PERLUNYA PERTOBATAN

Panggilan untuk bertobat pada Perjanjian Baru dimulai dalam Matius 3:2 dan diakhir dalam Wahyu 3:19. Untuk memperlihatkan arti penting pertobatan, berikut ini akan dikemukakan ayat-ayat yang membahas hal tersebut.
Injil Matius memberitahukan kepada kita mengenai dua (2) orang yang menunjukkan penyesalan atas dosa-dosa yang mereka lakukan. Pertama adalah Petrus, yang dengan sikap yang sangat memalukan telah menyangkal Yesus, Tuhannya. Dan Alkitab pun mencatat, setelah melakukan hal tidak terpuji itu, “ia pergi keluar dan menangis dengan sedihnya” (Mat. 26:75). Beberapa hari kemudian Yesus memulihkan Petrus dalam posisinya sebagai murid, dan memerintahkan dia untuk menggembalakan domba-domba-Nya (Yoh. 21:15:17). Orang kedua ialah Yudas yang mengkhianati Yesus hanya untuk memperoleh 30 keping uang perak. Ketika dia melihat Gurunya dijatuhi hukuman, Yudas “mempertobatkan dirinya sendiri (terj. dari versi KJV)” dan berkata, “Aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tak bersalah” (Mat. 27:3). Perasaan berdosa ini ditindaklanjuti dengan melemparkan uang perak yang didapatkannya itu ke dalam Bait Suci lalu Yudas pergi menggantung dirinya.
Melihat rasa berdosa dan tindakan pertobatan kedua orang tersebut di atas, terdapat perbedaan yang sangat besar. Rasa berdosa Petrus membuat dia mengambil suatu tindakan pertobatan yang membawa kepada pengampunan dan pemulihan. Tetapi tidaklah demikian dengan Yudas. Meskipun Yudas menyadari bahwa dia telah melakukan hal yang salah, tetapi tidak terdapat bukti bahwa dia mengakui dosa-dosanya kepada Tuhan Yesus dan memohon pengampunan kepada-Nya. Tindakan pertobatan Yudas tidaklah sesuai dengan ajaran Tuhan Yesus. Yudas “dikuasai oleh penyesalan” yang sangat mendalam sehingga ia “mempertobatkan diri sendiri” (bhs. Yunani, metamelomai) dengan jalan bunuh diri.
Rasa bersalah ataupun berdosa belumlah cukup untuk menerima pengampunan tanpa disertai dengan tindakan pertobatan yang benar. Seruan untuk bertobat disampaikan bukan saja oleh Yohanes Pembaptis dan para rasul yang lainnya, tetapi juga oleh Tuhan Yesus sendiri. Pesan utama di dalam Khotbah di Bukit adalah bahwa untuk dapat memasuki Kerajaan Sorga, orang harus bertobat dari perbuatan dosa mereka, mengubah cara berpikir mereka seutuhnya dan berupaya mengikuti perintah Yesus.
Dalam kitab terakhir dari Alkitab, Tuhan yang ditinggikan, saat berbicara kepada jemaat Laodikia, mengulangi panggilan-Nya yang mendesak untuk bertobat: “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!” (Wahyu 3:9). Dan Petrus menjelaskan bahwa alasan mengapa Kristus belum kembali ke dunia adalah bahwa Dia menginginkan semua orang di segala tempat bertobat dan diselamatkan : “Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada orang yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat” (2 Pet. 3:9).
Pertobatan sejati sangat penting artinya bagi setiap orang berdosa (yang telah melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah) yang mau menerima anugerah pengampunan di dalam Tuhan Yesus. Dan tindakan pertobatan haruslah menuju ke arah Kristus, sesuai dengan ajakan Firman Allah dan bukanlah hasil rekayasa pikiran manusia sempit dan bodoh.

D. HUBUNGAN ANTARA PERTOBATAN DENGAN IMAN

Orang sering bingung bila disodorkan pertanyaan : mana yang lebih dulu ada, pertobatan atau iman?. Sejumlah Teolog berkata bahwa pertobatan harus mendahului iman : “Pertobatan secara langsung membawa kepada iman yang menyelamatkan, yang pada dirinya merupakan kondisi dan instrumen dari pembenaran”. Teolog lain, sebaliknya, mempertahankan bahwa pertobatan mengikuti iman. John Calvin, misalnya, dengan tegas menyatakan : “Adalah fakta yang tidak terbantahkan lagi bahwa pertobatan bukan saja secara konstan mengikuti iman, tetapi juga lahir dari iman … Orang-orang seperti itu belum mengenal kuasa pertobatan …”
Adalah kurang tepat dan hanya menghabiskan waktu saja, jika terus dipeributkan – mana yang lebih dulu ada dari kedua aspek ini. Walaupun pertobatan dapat dan seharusnya dibedakan dari iman, tetapi keduanya jangan pernah dipisahkan. John Murray menanggapi hal ini secara arif, lewat pernyataannya :
“Iman yang memimpin kepada keselamatan adalah iman yang menyesali dosa-dosanya dan pertobatan yang membawa kepada kehidupan adalah pertobatan yang mempercayai Allah….. Iman adalah iman di dalam Kristus untuk keselamatan dari dosa. Tetapi jika iman diarahkan kepada keselamatan dari dosa, harus ada kebencian terhadap dosa dan keinginan pertobatan…. Dan jika kita ingat bahwa pertobatan merupakan tindakan berbalik dari dosa kepada Allah, maka berbalik kepada Allah ini mengimplikasikan iman kepada kasih setia Allah sebagai yang dinyatakan di dalam Kristus. Mustahil memisahkan iman dan pertobatan. Iman yang menyelamatkan dirembesi oleh pertobatan dan pertobatan dirembesi oleh iman.”

E. PERTOBATAN MERUPAKAN KARYA ALLAH DAN MANUSIA

Alkitab berbicara mengenai pertobatan sebagai karya Allah dan juga sebagai karya manusia. Kita telah melihat sejumlah ayat Alkitab di mana pertobatan dideskripsikan sebagai suatu karya manusia – yaitu di mana orang-orang didesak untuk bertobat dan kembali kepada Allah (Yes 55:7; Yeh. 33:11; Mat. 4:17; Kis. 3:19; 17:30; 26:18,20). Akan tetapi di KPR. 11:18, pertobatan secara jelas digambarkan sebagai karya Allah – atau lebih baik dikatakan suatu karya yang dimampukan oleh Allah untuk dikerjakan oleh manusia. Sudah pasti bahwa orang-orang berdosa harus bertobat, tetapi Allah-lah yang memampukan mereka untuk bertobat.
Sangatlah perlu bagi kita untuk melihat bagaimana Canon of Dort mengungkapkan aktivitas manusia menyangkut pertobatan mereka. Setelah mendeskripsikan cara supranatural yang dipakai Allah untuk memberikan regenerasi, Canon of Dort melanjutkan dengan mengatakan, “Dan sekarang, kehendak, yang telah diperbaharui itu, bukan hanya diaktifkan dan dimotivasi oleh Allah semata, tetapi sementara diaktifkan oleh Allah, kehendak itu sendiri juga aktif. Untuk alasan inilah, manusia sendiri, dengan anugerah yang telah diterimanya, juga benar dikatakan mempercayai dan bertobat.”

F. PERTOBATAN DIKERJAKAN SEUMUR HIDUP

Reformator Gereja Protestan, Marthin Luther dalam Tesis pertama dari 95 Tesisnya, berbunyi : “Tuhan dan Guru kami Yesus Kristus, ketika Dia berkata, Poenitentiam agite, berkehendak agar keseluruhan hidup orang-orang percaya haruslah merupakan pertobatan.” Selanjutnya, hal yang sama dikemukakan pula oleh John Calvin, yang juga merupakan salah seorang tokoh besar Reformasi :
Tentu saja pemulihan (gambar Allah) tidak terjadi dalam sekejap atau satu hari atau satu tahun; tetapi melalui kemajuan yang bertahap dan terkadang bahkan perlahan, Allah menghapuskan dari diri kaum pilihan-Nya kecemaran daging, membersihkan mereka dari kesalahan,, menguduskan mereka bagi diri-Nya sendiri sebagai bait-Nya, memperbaharui pikiran mereka semuanya menjadi kemurnian sejati, agar mereka dapat menjalankan pertobatan di sepanjang hidup mereka dan tahu bahwa peperangan ini hanya akan berakhir saat mereka mati.

Tuntutan Yesus agar kita menyangkal diri sendiri, mengangkat salib dan mengikuti Dia, mendeskripsikan apa yang harus kita lakukan di sepanjang hidup kita. Fakta bahwa pertobatan merupakan suatu aktivitas seumur hidup mempunyai sejumlah implikasi yang penting. Pertama, hal ini menunjukkan bahwa kita harus membedakan antara pertobatan awal yang terjadi dipermulaan kehidupan Kristen dengan pertobatan yang berlanjut di sepanjang hidup kita. Bukan saja terdapat suatu tindakan berbalik dari dosa dan kembali kepada Allah yang menjadi awal perjalanan seorang Kristen, tetapi juga menjadi karakter dari keseluruhan perjalanan hidup. Oleh karena itu, kita tidak boleh berpikir bahwa pertobatan hanyalah salah satu langkah di dalam proses keselamatan, melainkan, paling tidak dalam satu pengertian, kita harus memikirkan pertobatan sebagai satu aspek dari keseluruhan proses. Kehidupan Kristen dalam totalitasnya adalah kehidupan pertobatan.
Kedua, kita harus memperhatikan bahwa pertobatan dalam pengertian seumur hidup secara mendasar tidak berbeda dari pengudusan, walaupun pertobatan merupakan perwujudan pengudusan dari sudut yang unik. Semua poin yang telah dibahas mengenai pertobatan juga dapat diterapkan pada pengudusan, yaitu merupakan tindakan berbalik dari dosa dan kembali kepada Allah, suatu perubahan pola hidup, suatu perjalanan dari pikiran kedagingan kepada pikiran Kristus, melepaskan diri yang lama dan mengenakan diri yang baru. Dengan lain perkataan, istilah-istilah yang dipakai oleh Alkitab untuk mendeskripsikan proses keselamatan memiliki makna yang tumpang tindih. Keselamatan bukanlah banyak hal, melainkan hanya satu hal; tetapi satu hal ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang.
Ketiga, harus diingat bahwa pertobatan dalam pengertian Alkitabiah sepenuhnya tidak pernah secara sempurna dikerjakan oleh manusia. Kapankah manusia secara total berpaling dari dosa dan kembali kepada Allah, dan dari pikiran kedagingan kepada pikiran Kristus? Pernahkah manusia secara sempurna membenci dosa? Kapankah seseorang pernah benar-benar bebas dari dorongan-dorongan yang muncul dari manusia lamanya, dan kapan seseorang menyatakan dengan tanpa cela manusia baru yang menjadi tujuan kehidupan ini. Setiap hari kita harus memohon pengampunan dari Allah, bukan hanya untuk dosa-dosa kita, tetapi juga untuk ketidaksempurnaan pertobatan kita. Pertobatan sebagaimana dideskripsikan di dalam Alkitab adalah suatu ideal yang tinggi; kita harus terus-menerus berupaya untuk menyatakannya, walaupun kita tidak akan pernah melakukannya secara sempurna di dalam hidup ini.

G. PERTOBATAN YANG TIDAK DITERIMA TUHAN

Ini adalah bagian terakhir dari bahasan kita dalam pelajaran Pendalaman Alkitab. Firman Allah berkata, “Sebab mereka yang pernah diterangi hatinya, yang pernah mengecap karunia surgawi, dan yang pernah mendapat bagian dalam Roh Kudus, dan yang mengecap firman yang baik dari Allah dan karunia-karunia yang akan datang, namun yang murtad lagi, tidak mungkin dibaharui sekali lagi sedemikian, hingga mereka bertobat, sebab mereka menyalibkan lagi Anak Allah bagi diri mereka dan menghina-Nya di muka umum.” (Ibrani 6:4-6).
Sebagian besar orang Kristen mengetahui tentang orang-orang yang karena satu atau lain alasan telah meninggalkan iman mereka. Mungkin mereka sesungguhnya tidak menyangkal iman, tetapi tentu saja mereka tidak mempraktekkannya. Kalau melihat ayat tersebut di atas, sebenarnya mereka adalah orang-orang yang sudah pernah bertobat, tetapi jatuh lagi dalam kubangan dosa yang akhirnya menyebabkan mereka menjadi murtad dari iman Kristiani. Menjadi pertanyaan, apakah benar ada orang yang tidak dapat dibawa kepada pertobatan? Mungkinkah orang yang telah mengalami Roh Kudus kembali tersesat dan terhilang untuk selamanya? Adalah penting untuk memilah-milah masalahnya dan menangani dengan teliti masalah yang sangat melibatkan perasaan pribadi ini.

Indikasi dari pertobatan yang tidak diterima/ditolak Tuhan adalah :
1. Bila seseorang secara sadar sedang mengamati karya Roh Kudus melalui Yesus, tetapi menyebutnya sebagai pekerjaan iblis (Markus 3:20-29). Ini berarti sengaja menolak bukti dari pengalamannya sendiri.
2. Bila seseorang telah melakukan dosa yang mendatangkan maut (1 Yoh. 5:16-17).
3. Bila seseorang memohon pengampunan sebelum bunuh diri (Mat. 27:3-5).
4. Bila seseorang melakukan pertobatan semu (Mat. 7:22-23).

Tetapi puji TUHAN, kita tidak diselamatkan karena kesempurnaan pertobatan kita. Kita diselamatkan bukan oleh perbuatan baik kita melainkan hanya oleh perbuatan Tuhan Yesus Kristus (Efesus 2:8-9). Alkitab memperingatkan kita semua untuk tetap mengerjakan keselamatan itu dengan takut dan gentar (Filipi 2:12), antara lain yang dapat dilihat lewat pertobatan yang dilakukan setiap hari.
Sebab itu, “Bertobatlah karena Kerajaan Sorga sudah dekat” (Matius 3:2, 4:17). Dan hasilkanlah buah-buah dari pertobatan itu (Matius 3:8). Imanuel … Amin.


Yang perlu direnungkan dan dilakukan : …..
“Tindakan Pertobatan kita dapat menggerakkan kesadaran intelektual, emosi & kehendak orang lain untuk melakukan hal yang sama”

“Khotbah yang paling menyentuh bukanlah ketika kita sedang berada di atas Mimbar tetapi ketika kita menghasilkan buah-buah pertobatan yang dapat dilihat, dinikmati dan diteladani orang lain”

1 komentar :

  1. Anonim1/5/10

    semua kejahatan ad dosa,ada dosa yg mendatangkan maut&tidak,mohon penjelasannya!
    apa dosa yg mendatangkan maut? Mohon penjelasan ttg mat7;22=23 yg di katakan sebagai pertobatan yg semu itu? hianlie@yahoo.com

    BalasHapus

Sertai Komentar anda dengan alamat e-mail

Followers